Banyak orang bilang, musik bisa dijadikan obat yang mujarab untuk menghilangkan rasa stress, jenuh atau semacamnya. Ada juga yang bilang, dengan musik kita bebas mengekspresikan diri. Saya juga termasuk salah satu orang yang gila dengan musik. Bahkan dulu waktu saya masih duduk di bangku SMA, saya nyaris tidak bisa belajar kalai belum mendengarkan musik. Dan saya pun tidak bisa tidur kalau belum mendengarkan musik. Saya merasa lebih bersemangat mengerjakan apapun, setelah mendengarkan musik. Ya itu lah musik. Kekuatannya begitu dahsyat.
Lantas, bagaimana jika musik digunakan sebagai alat untuk berjuang? Bisakah? Jawabnya, tentu saja bisa. Seperti yang dilakukan kawan-kawan Buruh Migran di Korea.
Mereka menamakan group mereka “ Stop CrackDown Band “ . Dari namanya saja, tentu saja kita sudah bisa menebak maksudnya. Stop sendiri berarti hentikan. Sedangkan Crackdown berarti penangkapan paksa. Band ini beranggotakan 5 orang dari 4 Negara yang berbeda. Masing-masing adalah Minod Moktan ( Nepal/Vokal ), Soe Thi Ha ( Myanmar/bass ), Hary Ken Achmad ( Indonesia/ Keyboard, Synthesizer, Gitar ), Soe Moe Thu ( Myanmar/gitar ) dan Song Myoung Hun ( Korea/ drum ).
Saya tahu lebih banyak soal group band tersebut, karena salah satu personelnya adalah temen cyber saya di sebuah website ( www.tkikorea.com) . Dia adalah Harry Ken Achmad yang juga webmaster website tersebut. Waktu itu kami asyik sharing ditelpon. Harry menceritakan, bahwa proses terbentuknya Stop Crackdown sendiri memang sangat tidak diduga. Pertengahan tahun 2003 mereka bertemu dalam sebuah camp musim panas.
Di situ mereka memainkan alat musik yang berbeda. Dari situ lah tercetus ide untuk membuat sebuah group band. “Kalau memang bisa, ya kenapa tidak?” ungkap Harry dalam wawancara melalui telpon beberapa waktu lalu. Akhirnya pada tanggal 15 November 2003 terbentuklah Stop Crackdown. Nama itu sendiri terbentuk karena adanya kepentingan yang sama sebagai sesama buruh migrant di Korea. Dan Band itu lah yang hingga saat ini dipakai oleh mereka untuk melawan penindasan kaum buruh migrant di Korea.
“Lagu-lagu kami memang kebanyakan bertemakan tentang kemanusiaan. Dan lagu-lagu kami terinspirasi dari semua peristiwa yang dialami TKI di Korea. Dari mulai penangkapan paksa, Buruh yang tidak digaji, sampai dengan kehidupan teman-teman di sini,” ujarnya penuh semangat. Harry menjelaskan, bahwa di Korea memang tidak banyak organisasi buruh seperti di Hong Kong. “ Kesadaran teman-teman untuk berorganisasi di sini sangat kecil,” ujarnya.
Namun justru karena itulah, Harry dan kawan-kawan memutuskan menggunakan musik sebagai alat perlawanan. Harry sendiri menilai selama ini KBRI ( Kedutaan Besar Republik Indonesia ) di Korea sama sekali tidak berpihak kepada kaum buruh migrant. Bahkan terkesan kebijakan-kebijakan yang mereka buat lebih cenderung menguntungkan kaum kapitalis ( dalam hal ini Agen – Agen tenaga kerja ).
Belum lagi banyaknya Buruh Migran yang tidak digaji oleh pabrik hingga berbulan-bulan. Akibatnya, banyak buruh migrant memilih nekad pindah bekerja ke pabrik lain meski secara illegal. “ Jadi mereka illegal bukan karena tidak puas dengan gaji yang diberikan. Mereka illegal karena tidak digaji oleh pabrik. Merasa tidak ada pilihan lain, akhirnya mereka memilih illegal saja,” cetus BMI asal Tulung Agung ini.
Ia menambahkan, bahwa banyak buruh migrant di Korea yang bekerja melebihi batas jam kerja. Kadang sampai kerja 16 jam per hari.
Harry sendiri berharap, melalui musik dan lagu, minimal suara mereka sebagai buruh migrant didengar oleh Pemerintah Korea, KBRI Korea maupun masyarakat Korea sendiri. Karena sama seperti kita sebagai Buruh Migran di Hong Kong, yang dibutuhkan hanyalah perlindungan bukan sebutan dengan embel-embel pahlawan devisa Negara.
Band yang beraliran rock ini pun mendapat sambutan hangat dari masyarakat Korea sendiri. Terbukti sejak terbentuknya hingga sekarang, mereka telah melahirkan 4 album. Yaitu Stop Crackdown 2nd ( 2007 ), Goodbye my friend ( 2004 ), We love Korea ( 2006 ) serta The grave of the hand ( 2004 ).
Meski mereka sudah menyatu dalam sebuah Band, namun bukan berarti tidak ada tantangan. “Kami berasal dari Negara yang berbeda, latar belakang yang berbeda, adat serta agama yang berbeda pula,” kata Harry. Namun justru dari perbedaan itulah yang mendorong mereka untuk terus menjaga solidaritas sesama buruh migrant.
Dari sini saya berikir. Seandainya kita sebagai Buruh Migran di Hong Kong bisa dan mampu membuat sebuah gebrakan semacam itu. Yakni menggunakan musik sebagai alat untuk melawan penindasan kaum buruh seperti kita. Ya tentu saja dengan lagu-lagu bertemakan perjuangan buruh migrant serta mengangkat isu-isu perburuhan.
Namun sayang sekali, lagu yang kita dengar kebanyakan adalah lagu yang sifatnya mellow. Tanpa disadari hanya akan membuat kita tidak bisa bersikap kritis.
Coba kalau kita mau mendengarkan puisi – puisi perjuangan seperti karya Wiji Tukul yang sudah banyak dilagukan. Warna musiknya tidak kalah dengan lagu-lagu mellow saat ini. Dari uraian di atas, saya bisa menyimpulkan, bahwa musik mempunyai kekuatan yang sangat besar. Karena musik tidak hanya bisa mempengaruhi pemikiran seseorang, namun lebih dari itu, musik juga bisa merubah cara berpikir seseorang.
Aliyah Purwati
Penulis adalah BMI di Hong Kong
Friday, October 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment