
Mirna( 30) bukan nama sebenarnya ,buruh migrant Indonesia asal Blitar ,sama sekali tidak menyangka kalau ternyata ia akan dipekerjakan sebagai petani dan pedagang oleh majikannya di Hong Kong.
Ia tinggal bersama seorang nenek di kawasan Cheung Shue Tan Tsuen,Tai Po .Setiap hari ia mesti pergi ke ladang untuk memetik bunga,mencari daun pisang dan tebu dan juga menggergaji kayu dan memotong tebu-tebu tersebut.Lalu dilanjutkan dengan menjual hasil ladang itu ke pasar Tai Po dengan cara dipikul.Ia menjajakan dagangan itu besama majikannya.
Mirna mengaku majikannya seorang nenek berusia 70-an sangat cerewet dan berperilaku kasar.”Saya kerja nggak ada benarnya,pada hal saya hanya diam saja walaupun dipekerjakan seperti itu,” kisahnya kepada SUARA di secretariat Indonesian Migrant Workers Union ( IMWU ), beberapa waktu lalu.
Mirna yang setiap bulannya hanya menerima gaji HK$ 2000 itu mengatakan bahwa dia juga harus membantu bersih-bersih rumah anak majikan,yang letaknya bersebelahan dengan rumah ia bekerja.
Padahal dalam kontrak kerjanya tercatat,ia hanya membersihkan rumah dan merawat seorang anak .” Kondisi kerja saya jauh lebih parah dari pada keadaan saya di Indonesia,”ujar perempuan yang mengaku diberangkatkan oleh PT.Hikmah Surya Jaya ,Surabaya ini.
Awalnya,Mirna tak tahu tentang hukum perburuhan di Hong Kong bahwa tak boleh ada pelanggaran jenis pekerjaan dan kontrak yang disepakati.Ia mengetahui hal ini setelah bekerja 10 bulan.Namun ia belum berani mengajukan protes ke majikannya soal pelanggaran kontrak itu.
Tapi setelah empat bulan terakhir MIrna disuruh mencangkul di ladang tiap hari ,hingga kecapekan dan mengalami patah tulang belakang,ia pun memutuskan kabur pada 11 February lalu.
Sejauh ini,Mirna telah smendapatkan bukti untuk menuntut majikan,berupa foto dan catatan harian mengenai gaji serta hari libur yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.
Hingga saat ini ,ribuan Buruh Migrant Indonesia ( BMI ) ynag bekerja di Hong Kong masih belum mendapatkan hak-haknya.
Aliyah Purwati
Ia tinggal bersama seorang nenek di kawasan Cheung Shue Tan Tsuen,Tai Po .Setiap hari ia mesti pergi ke ladang untuk memetik bunga,mencari daun pisang dan tebu dan juga menggergaji kayu dan memotong tebu-tebu tersebut.Lalu dilanjutkan dengan menjual hasil ladang itu ke pasar Tai Po dengan cara dipikul.Ia menjajakan dagangan itu besama majikannya.
Mirna mengaku majikannya seorang nenek berusia 70-an sangat cerewet dan berperilaku kasar.”Saya kerja nggak ada benarnya,pada hal saya hanya diam saja walaupun dipekerjakan seperti itu,” kisahnya kepada SUARA di secretariat Indonesian Migrant Workers Union ( IMWU ), beberapa waktu lalu.
Mirna yang setiap bulannya hanya menerima gaji HK$ 2000 itu mengatakan bahwa dia juga harus membantu bersih-bersih rumah anak majikan,yang letaknya bersebelahan dengan rumah ia bekerja.
Padahal dalam kontrak kerjanya tercatat,ia hanya membersihkan rumah dan merawat seorang anak .” Kondisi kerja saya jauh lebih parah dari pada keadaan saya di Indonesia,”ujar perempuan yang mengaku diberangkatkan oleh PT.Hikmah Surya Jaya ,Surabaya ini.
Awalnya,Mirna tak tahu tentang hukum perburuhan di Hong Kong bahwa tak boleh ada pelanggaran jenis pekerjaan dan kontrak yang disepakati.Ia mengetahui hal ini setelah bekerja 10 bulan.Namun ia belum berani mengajukan protes ke majikannya soal pelanggaran kontrak itu.
Tapi setelah empat bulan terakhir MIrna disuruh mencangkul di ladang tiap hari ,hingga kecapekan dan mengalami patah tulang belakang,ia pun memutuskan kabur pada 11 February lalu.
Sejauh ini,Mirna telah smendapatkan bukti untuk menuntut majikan,berupa foto dan catatan harian mengenai gaji serta hari libur yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.
Hingga saat ini ,ribuan Buruh Migrant Indonesia ( BMI ) ynag bekerja di Hong Kong masih belum mendapatkan hak-haknya.
Aliyah Purwati
No comments:
Post a Comment