Friday, October 19, 2007

Indonesia kehilangan devisa US$55 juta per tahun

Akibat praktik underpayment ( pemberian upah di bawah standart ) bagi kalangan Buruh Migran Indonesia ( BMI ) di Hong Kong, pemerintah Indonesia kehilangan devisa sebesar US$ 55 per tahun.

Hasil tersebut ditemukan oleh Asian Migrant Centre ( AMC ) sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang advocacy buruh migrant di Hong Kong.
Dalam usaha riset itu sendiri, AMC bekerja sama dengan Koalisi Organisasi tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong ( KOTKIHO ) bersama Indonesian Migrant Workers Union ( IMWU ). Riset yang terakhir mereka lakukan adalah pada akhir tahun 2006. AMC bersama KOTKIHO dan IMWU mewancarai 2097 Buruh Migrant Indonesia di Hong Kong. Dari hasil riset tersebut menunjukan 26 % BMI di Hong Kong tidak menerima gaji sesuai dengan nilai nominal kwitansi penerimaan gaji yang mereka tanda tangani.

Kebanyakan dari mereka menandatangani kwitansi penerimaan gaji stan dart, tapi gaji yang sebenarnya mereka terima berkisar antara HK$ 2000, 1800 atau bahkan ada yang hanya menerima sebesar HK$ 1500 per bulan.
Dari gaji minimum yang diterapkan saat ini sebesar HK$ 3480, tentu saja selisihnya sangat besar. Rata-rata nilai yang tidak dibayarkan atau perbedaan antara yang diterima dan yang tercantum dalam kwitansi penerimaan gaji mereka sekitar HK$ 1390.

Berdasarkan nilai rata-rata tersebut, Asian Migrant Centre ( AMC ) mengasumsikan bahwa jumlah gaji yang tidak dibayarkan majikan ke pembantu Indonesia dengan asumsi jumlah Buruh Migran Indonesia ( BMI ) di Hong Kong saat ini mencapai 100 ribu adalah HK$36 juta per bulan, atau sekitar US$55 juta per tahun.

Bila kita tengok kembali, sebenarnya Hong Kong merupakan Negara tujuan Buruh Migrant Indonesia ( BMI ) yang paling jelas Undang- Undang Perburuhannya, berbeda dengan Negara tujuan buruh migrant lainnya. Seperti Malaysia, Singapura, Saudi Arabiah. Soal gaji, hari libur dan lainnya, jelas Hong Kong lah yang paling jelas peraturannya. Namun sayang sekali praktiknya masih jauh dari harapan. Terutama sehubungan dengan kasus underpayment. Kasus ini seakan telah menjadi momok bagi BMI Hong Kong.

Selama ini Pemerintah Indonesia sama sekali tidak bertindak tegas. Seharusnya Pemerintah Indonesia dengan tegas mendesak pemerintah Hong Kong agar bersikap tegas pula dalam menindaki Agen dan majikan yang melakukan pelanggaran Undang-Undang perburuhan. Pasalnya, kasus ini merupakan kolaborasi antara majikan dan Agen. Agen ingin cepat memasarkan Buruh migrant dengan cepat dan dengan harga miring pula. Sementara majikan ingin segera membeli dengan harga murah pula. Dalam hal ini lah, Buruh Migran Indonesia ( BMI ) sepertinya masih dijadikan komoditi export .

No comments: