Udara yang panas dan pengap benar-benar membuatku mandi keringat. Belum lagi pekerjaanku yang kian menumpuk layaknya gunung. Ya, panasnya Hong Kong memang sungguh menyengat. Sampai-sampai banyak orang bilang, panasnya Hong Kong tidak jauh beda dengan panasnya neraka. Ah persyetan dengan semua itu. Toh panas atau pun tidak, aku tetap harus bekerja pada majikan.
Tidak seperti biasanya juga, menu masakanku sore itu lebih banyak. Maklum saja saudara-saudara majikan perempuanku mau datang dan makan bersama. Kalau hari-hari biasa, paling aku hanya memasak dua macam lauk dan sup. Tapi kali ini aku harus memasak lima macam lauk beserta pou dhong. Majikanku sendiri telah belanja siang tadi. Dan setiap hari memang dia sendiri yang ke pasar belanja. Karena dia memang tidak bekerja. Jadi kerjaannya hanya di rumah mengurus anak. Majikanku mempunyai dua anak kembar perempuan berumur sembilan tahun. Namanya Grace Lam dan Janet Lam. Keduanya sangat lucu, cantik, pintar dan sopan. Kontan saja aku sangat betah bekerja di situ. Majikanku pun tergolong tidak cerewet dan tidak bawel. Hanya saja sayangnya, aku tidak diijinkan untuk beribadah sholat. Tapi aku sendiri menyadari, namanya manusia tidak ada yang sempurna. Ada majikan yang cerewet, tapi mengijinkan pembantunya beribadah sholat. Dan begitu juga sebaliknya.
Udara makin panas. Sekitar setengah lima sore aku mulai merendam sayur, mencuci ikan, daging serta pou dhong apel, jagung dan wortel kesukaan majikanku. Aku bekerja supercepat, dan mungkin seperti mesin, karena kuatir kerjaanku tidak beres. Bagaimana tidak, seterikaanku di ruang tengah juga masih numpuk belum tersentuh sama sekali.
Aku masih asyik memotong daging babi. Keringat terus mengucur deras dari tubuhku.
“Aauwww…” aku menjerit seketika, seraya darah segar keluar dari jemariku. Aku pun segera menghentikan aktivitas memotong daging.
“Ale, kenapa tangan kamu?” suara majikanku benar-benar mengagetkan aku. Rupanya sudah dari tadi majikanku berdiri di belakangku tanpa sepengetahuanku.
“Oh, tidak apa-apa Nyonya. Hanya luka kecil saja kok, nanti juga sembuh dengan sendirinya,” aku mencoba meyakinkan majikanku bahwa luka yang kualami bukanlah luka yang serius. Tak lama kemudian, majikanku pun menyuruhku keluar dari dapur dan segera mengobati lukaku.
“Ale, kenapa di jarimu ada benjolan seperti ini?” Majikanku bertanya sambil mengerutkan dahi. Dari raut wajahnya, nampak sekali kalau dia sangat mengkhawatirkan luka di jariku. Dia menganggap luka di jariku adalah luka yang sangat serius. Nada pertanyaannya seperti seorang Polisi yang melakukan penyelidikan saja. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Ada perasaan khawatir juga melihat mimik wajah sang majikanku seperti itu. Pikiran tidak enak mulai menggelayuti pikiranku, menari-nari dalam otakku. Membuatku semakin resah dan gelisah. Aku pun jadi salah tingkah di depan perempuan yang memberiku dollar setiap bulan itu.
“Ale?” panggilan majikanku kembali mengagetkan aku.
“I…iya Nyonya,” aku menjawab dengan gugup.
“Kenapa di jarimu ada benjolan seperti ini?” majikanku bertanya lagi. Kali ini dengan nada sangat penasaran. Aku terdiam sejenak. Hingga akhirnya aku beranikan untuk bicara yang sesungguhnya pada majikanku.
“Oh… ini hanya luka biasa kok Nyonya. Kalau orang Indonesia menyebutnya kutil. Namun tidak berbahaya kok Nyonya. Nanti akan sembuh dengan sendirinya,” lagi-lagi aku meyakinkan majikanku. Ya, benjolan yang ada di jariku memang kutil. Begitu orang Jawa menyebutnya. Jika kutil menempel di jari kita, memang terasa keras. Warnanya putih dan agak-agak transparan. Jika terluka, maka kutil itu akan pecah dengan sendirinya dan mengeluarkan darah. Setidaknya, itulah yang aku alami.
Lama aku dan majikanku terdiam. Aku melihat dahi majikan perempuanku semakin berkerut. Ia kembali diam.
“Ale…sepertinya ada yang tidak wajar dengan benjolan di jarimu. Besok pagi kita ke dokter untuk memeriksakan tanganmu itu,” kata majikanku serius.
Lagi-lagi majikanku terdiam. Aku semakin panik dalam hati. Karena majikanku benar-benar menganggap kutil di jariku adalah sesuatu yang serius. Ya, begitulah orang Hong Kong. Mereka mudah sekali panik dengan gejala penyakit sekecil apapun. Jika anak kesayangannya saja sudah mulai bersin-bersin, ia langsung membawanya ke dokter.
Apalagi ia yang melihat tanganku luka dan berdarah.
Aku kembali melanjutkan pekerjaanku di dapur. Aku tak tenang. Tiba-tiba saja aku selalu berpikir. Kalau-kalau majikanku menganggap luka sepele alias kutil di jariku adalah penyakit menular, dan akhirnya majikanku memecat aku sebagai pembantu rumah tangga. Ah, matilah aku. Aku hanya bisa pasrah sambil menghibur diriku sendiri.
******
Keesokan harinya, majikanku menepati janji. Pagi itu sekitar jam sepuluh, majikanku mengantarku ke dokter, yang letaknya tidak jauh dari rumah di mana aku bekerja.
Aku menarik nafas lega, karena ternyata tidak begitu banyak pasien yang hendak berobat, sehingga aku tidak perlu lama-lama antri. Aku hanya menunggu 2 orang pasien saja. Keduanya orang Hong Kong. Tak lama kemudian, salah seorang suster di Klinik itu memanggil namaku. Akupun segera masuk ke ruang dokter untuk periksa. Aku tersenyum pada majikanku. Majikanku membalas senyumanku dengan manis.
Setelah kira-kira 10 menit dokter memeriksa tanganku, aku segera keluar dari ruangan itu. Aku tidak menemukan ada gejala aneh pada dokter saat memeriksa tanganku. Semuanya biasa-biasa saja. Setidaknya membuatku sedikit lega. Aku kembali duduk di lobby, kembali bersebelahan dengan majikanku.
Namun tak lama kemudian, tiba-tiba dokter yang memeriksa aku memanggil majikanku. Majikanku pun masuk ke ruang periksa menemui dokter.
“Ada apa ya?” seribu pertanyaan terus menari dalam otakku. Sungguh membuat aku gelisah. Duduk pun tak tenang. Tubuhku terus saja bergeser ke kanan dan ke kiri. Kedua tanganku pun terus bergerak meremas-remas. Aku benar-benar resah.
Beberapa saat kemudian, majikanku keluar. Aku menemukan ada yang aneh pada diri majikanku, setelah ia keluar dari ruangan dokter.
******
“Ale, ayo kita pulang,” ajak majikanku.
Aku tidak bisa menahan diri. Aku langsung melemparkan pertanyaan pada majikanku.
“Nyonya, dokter tadi bilang apa? Apakah berhubungan dengan benjolan di jariku?”
Aku membrondong majikanku dengan berbagai pertanyaan. Aku makin tidak bisa menyembunyikan kegelisahan dan kekhawatiranku.
“Nanti saja kalau sudah sampai di rumah aku jelaskan,” jawaban majikanku membuat jantungku serasa mau copot. Aku langsung bisa menebak pasti ada yang tidak beres.
Beberapa menit kemudian, aku dan majikanku pun sampai di rumah. Aku sudah tidak sabar ingin tahu hal yang sebenarnya. Aku melihat wajah majikanku pun mulai menggambarkan suatu kecemasan. Kami sama-sama diam sejenak. Hingga akhirnya, majikanku membuka pembicaraan.
“Ale?” majikanku memanggilku pelan.
“ Aku tahu kamu suka bekerja di sini. Aku juga sudah menganggap kamu seperti keluarga sendiri. Tapi begini…” tiba-tiba majikankiu berhenti bicara. Jantungku berdegup kencang. Aku semakin yakin bahwa sesuatu hal buruk bakalan terjadi. Aku bisa menebak dari kata-kata serta cara bicara majikanku.
“Tapi apa Nyonya? Cepat bicaralah. Ada apa sebenarnya?” tak terasa tanganku mengoyak-oyak tangan dan badan majikanku.
“Ehm...dokter bilang, kalau benjolan di jarimu tidak bisa sembuh dalam waktu singkat. Karena kalau nanti membesar sedikit saja, akan mengeluarkan darah. Dan itu sangat berbahaya, bahkan mungkin bisa menular,” kata majikanku panjang lebar.
“Apa? Tidak mungkin, tidak mungkin…” hatiku serasa disambar petir mendengar kata-kata itu. Dari nada omongannya, aku bisa menebak arah pembicaraan majikanku selanjutnya. Tanpa sadar, hujan air mata membasahi pipiku. Majikanku sempat menenangkan dan menepuk pundakku, ketika mengatakan bahwa aku harus pergi dan berhenti bekerja. Aku benar-benar tidak menyangka, kalau hal sekecil itu bisa menjadi besar. Aku juga tak mengerti, kenapa semua terjadi ketika aku sedang senang-senangnya bekerja di situ. Baru sembilan bulan aku bekerja di situ dan uang limaribu Dollar Hong Kong pun telah melayang ke tangan Agen saat aku renew kontrak.
“Ya Tuhan…aku diterminit.Aku harus mulai dari nol lagi. Bagaimana caranya agar aku mendapat majikan, sedangkan perpanjangan visaku hanya dua minggu. Kalau pun dapat, aku harus kerja bakti lagi untuk Agen untuk kontrak kerja baruku. Kalau misalkan tidak dapat majikan, aku harus pulang ke kampung halamanku. Apa yang aku bawa. Sementara hasil kerjaku 2 tahun telah aku kirimkan unntuk orang tua ku semua. Bagaimana masa depanku nanti?” seribu pertanyaan itu selalu menghantui pikiranku dan menyesakkan dadaku.
Keesokan harinya, aku bekerja seperti biasa. Walaupun ada rasa sangat tidak enak dalam hatiku. Namun aku mencoba bersikap biasa-biasa saja.
“ Ale,” suara majikanku lirih memanggilku.
“ Selamat pagi, Nyonya,” sapaku pada sang majikan.
“ Pagi juga, Ale. Hari ini kamu boleh libur,” perintah majikanku.
“Tapi hari ini Jum’at, Nyonya,” jawabku. Tapi majikanku tetap ngengkel menyuruh aku libur agar mulai bisa mencari majikan di Agen. Aku nurut saja pada majikanku, karena aku memang tidak mempunyai waktu banyak. Dalam hatiku bertanya-tanya, kok majikanku memberiku libur pas hari Jum’at. Aku sempat tertegun dan ingat karena uang gaji bulan kemarin sudah aku kirim semua. Di dompetku hanya tersisa dua puluh dollar saja, tapi aku pun tetap nekad libur ke Agen.
******
“Ale, bagaimana dengan benjolan di jarimu?” tanya Mami (yang punya Agen) padaku. Tanpa menjawab, aku langsung menunjukkan jari tanganku pada Mami.
“Oh my God,” mata Mami melotot seraya keheranan.
“Cuma sepele seperti ini, kamu diterminate?” lanjutnya.
Aku hanya tersenyum, tanpa banyak komentar. Karena aku juga tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah. Namun nasib baik pun belum juga berpihak padaku. Ternyata Agen ku lagi sepi majikan yang mencari pembantu. Sore hari aku pulang dengan perasaan hampa.
”Krukuk ..krukuk..” tiba-tiba perutku bunyi. Namun aku hanya bisa menahan lapar, karena di dompetku hanya tersisa uang duabelas dollar untuk ongkos pulang. Aku serasa menangis batin dalam keadaan seperti itu. Ketika sampai di depan MTR Tsim Sha Tsui Exit B, yang letaknya tak jauh dari Agenku. Aku tertegun dan menghela nafas dalam-dalam, ketika mataku menatap lepas ke depan. Kulihat sebuah masjid berdiri kokoh di situ.
“Allah Akbar…”ucapan takbir itu terlepas begitu saja dari bibirku. Tanpa terasa air mataku jatuh menetes.
“Ya Allah...betapa jauhnya aku dengan Mu selama ini, kenapa semua mesti terjadi saat aku seperti ini?” aku terus bertanya –tanya dalam hati.
Tiba-tiba terbesit di benakku untuk menginjakkan kaki ke rumah Tuhan(masjid). Yang selama ini belum pernah aku injak semenjak aku bekerja di Hong Kong selama hampir tiga tahun. Baru aku sadari, kalau ternyata hatiku begitu hampa. Aku rindu akan suara Adzan , yang biasanya aku dengar begitu merdu waktu aku masih di kampung halamanku.
“Allah akbar, Allah akbar, Allah akbar…” tiba-tiba suara adzan terdengar dari arah masjid. Aku terhenyak, dan tanpa ragu aku bergegas memenuhi panggilan untuk sholat. Aku luapkan semua perasaanku. Alangkah indahnya, ternyata aku masih bisa sholat berjama’ah meski di negeri orang. Aku terus berdo’a mudah-mudahan Allah menunjukkan keajaibannya padaku. Di dalam masjid yang cukup besar itu pula, aku bertemu dengan saudara-saudaraku senasib sepenanggungan. Kulihat mereka dengan merdu membaca ayat-ayat suci Al-qur’an. Hatiku yang semula kering kerontang, seakan kembali basah oleh siraman air hujan.
”Ya Allah...betapa damainya hatiku saat ini,” gumamku dalam hati. Sejak itu aku lebih memasrahkan diri pada yang kuasa. Karena apapun yang terjadi adalah atas kehendak Nya. Setelah aku merasa tenang, aku pulang. Kali ini beban di hatiku terasa sangat ringan. Tidak seperti sebelumnya.
******
Minggu pagi kedua majikanku mengantarku ke Agen, dengan mengendarai sebuah mobil pribadi.
“Ale…”majikanku memanggilku seraya menyodorkan selembaran kertas.
“Nyonya, apa ini?”aku bertanya penasaran. Tapi majikanku tidak menjawab, dan menyuruhku untuk memebaca sendiri. Mataku langsung terbelalak, tak percaya pada apa yang aku lihat. Ternyata majikanku merubah alasan, kenapa aku diterminite. Mereka menulis, bahwa mereka sudah tidak butuh pembantu lagi, karena akan pindah ke Singapura.
“Semalam Grace dan Janet yang punya ide, agar kamu lebih mudah untuk mencari majikan lagi,” majikanku menjelaskan sambil tersenyum.
“Terimakasih Nyonya,” ucapku kegirangan karna saking bahagianya.
“Ya Allah, Engkau benar-benar telah menunjukkan keajaibanMu,”aku bicara sendiri dalam hati. Tak henti-hentinyna aku mengucap syukur. Hatiku langsung sumringah.
Setelah urusan dengan agen beres, majikanku pergi meninggalkanku. Lagi-lagi ada sebuah kejutan. Sesampai di Agen langsung ada majikan yang mencari pembantu. Tapi dengan catatan harus bisa bahasa Inggris. Aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Enam hari mendekam di Agen, aku langsung interview dengan calon majikanku. Ternyata Agen ku sendiri juga tidak mempermasalahkan jariku .
“Ya Allah…seperti apakah calon majikan yang akan melamarku nanti.Galakkah,baikkah,cerewetkah dan…” pertanyaan itu terus menari-nari di otaku.
******
Ternyata calon majikanku sangatlah simple, tidak neko-neko. Biarpun menjaga 3 anak kecil, aku terpaksa menerima. Karena aku juga tidak punya pilihan lain. Selang beberapa hari, aku mulai bekerja di rumah majikanku yang baru.
“Cece, ini kamarmu.”celetuk Kevin, anak majikanku yang paling kecil.
“OK, thank you…”mataku terbelalak, karena kamar yang disediakan untukku cukup besar.Tidak seperti waktu di rumah majikanku yang barusan aku tinggalkan. Tidur saja harus di ruang tamu, dan sangat sumpek. Kali ini cukup besar, ber AC dan lengkap dengan rak bukunya.
“Berarti aku bisa sholat dalam kamar nih,”gumamku dalam hati.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung memberanikan diri untuk bicara dengan majikanku, kalau aku seorang muslim dan mempunyai kewajiban sholat lima waktu.
Karena aku tidak ingin mencuri-curi waktu untuk sholat dan membuat majikan memasang wajah murka kepadaku. Aku pikir berterus terang itu lebih baik.
Malam hari saat makan malam bersama, aku beranikan diri untuk mulai bicara dengan majikan perempuanku.
“Maaf, Nyonya. Saya seorang muslim. Dan orang muslim diharuskan sholat. Nyonya mengijinkan saya untuk sholat atau tidak,” aku bicara meski dengan nada patah-patah.
Semua manusia yang ada di meja makan tersebut, diam seribu bahasa. Sepertinya mereka sedang berpikir. Terlebih majikan perempuanku. Cukup lama mereka diam. Aku jadi salah tingkah sendiri.
“Cece, kamu harus sholat berapa kali sehari?” tanya majikan perempuanku.
“Lima kali, Nyonya. Tapi cuma sebentar. Saya jamin tidak akan mengganggu aktivitas kerja saya, Nyonya,” aku mencoba meyakinkan majiikanku. Aku hanya pasrah saja waktu itu. Mereka kembali diam.
“Cece,” panggil majikan perempuan.
“I..iya, Nyonya,” aku terlihat gugup. Tiba-tiba majikan perempuanku mengerutkan dahi.
Aku semakin kuatir saja. Takut mereka marah dan beranggapan kalau aku terlalu banyak meminta dan menuntut. Maklum saja, mayoritas orang Hong Kong tidak suka kalau rumahnya dipakai beribadah oleh penganut agama lain. Majikan sendiri dan anak-anaknya beragama Kristen. Dan mereka tergolong rajin berangkat ke Gereja setiap Minggu. Sedangkan majikan laki-laki ku tidak beragama dan sama sekali tidak mengenal Tuhan.
“Cece,” lagi-lagi suara majikan perempuan ku mengagetkan aku.
“Kalau kamu memang harus sholat, ya sholat saja,” ujar majikanku sambil tersenyum.
“ Sungguh, Nyonya,” aku benar-benar terharu mendengar jawaban itu dari majikan ku.
Dari situ aku mulai berpikir. Mungkin inilah hikmah yang aku dapat, setelah aku diterminit gara-gara benjolan kecil di jariku alias kutil. Ternyata Tuhan benar-benar Maha adil.
Keterangan:
Pou dhong : masak soup dalam waktu lama, kira-kira dua jam.
Cece : Panggilan mbak di Hong Kong
Diterminit : Dipecat
Hong Kong, 5 Oktober 2007
Biodata singkat penulis :
Nama lengkap: Aliyah Purwati ( Zando Aurelia – nama pena ). Tempat dan tanggal lahir: Rembang, 6 February 1983.
Bekerja di Hong Kong sebagai Buruh Migran Indonesia selama hampir 6 tahun.
E mail :
ryzanurhadi@yahoo.com HP: (+852) 96079015.
Pengalaman menulis:
Salah satu cerpen saya dibukukan bersama 12 penulis lain dalam buku KUMCER Nyanyian Imigran. Satu puisi saya dimuat dalam buku puisi antologi Munir yang terbit tahun 2005. Salah satu puisi saya dimuat dalam buku puisi antologi untuk Jogja yang terbit tahun 2006.
Waktu SMA kelas III, tulisan saya yang berjudul “ KEBHINNEKAAN INDONESIA DALAM TANTANGAN DAN HARAPAN”, masuk enam besar dalam sayembara mengarang yang diadakan oleh DEPDIKNAS Jakarta. Dan dalam presentasi serta forum diskusi menduduki juara III se-Indonesia tingkat pelajar SLTA tahun 1999.